Meramu Kesuksesan Pemasaran Nila

Meramu Kesuksesan Pemasaran Nila

Foto: Dok. TROBOS


Tidak hanya menjaga harga dan pasar tetap stabil, tapi juga ekspansi produk hingga kawasan pemasaran nila

 

Popularitas nila yang tetap trendi di 2023 ditandai dengan tetap stabilnya harga ikan introduksi ini di pasaran. Contohlah Roni Arsya, pembudidaya nila Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Ranau-Lampung yang menilai harga tilapia-nama lain nila, terbilang stabil. “Saat ini harga jual ikan nila di kolam atau di Danau Ranau sebesar Rp 22 ribu per kilogram (kg),” terangnya.

 

Sementara menurut Ahmad Syihabuddin, Owner Kilang Tilapia Premium Fish, Pare-Jawa Timur (Jatim), ia menjual nila di kisaran Rp 27 ribu – Rp 30 ribu/kg untuk ikan fresh (segar). Selain itu, kisaran harga jual Rp 45 ribu– Rp 47/kg untuk frozen (beku) nila. 

 

Di wilayah Jatim lainnya, yakni Blitar, Edi Pramono, pembudidaya nila Puteh Farm mengungkapkan bahwa harga nila terus beranjak, khususnya sejak 2020. Untuk harga jual, terendah terjadi di 2020, nila dibandrol Rp 23 ribu/ kg. Di 2023 harga jual nila meningkat menjadi Rp 25 ribu/kg. Di 2024 ini belum diketahui berapa harga jual nila karena masih dalam siklus pembesaran alias belum panen,” papar pembudidaya yang akrab disapa Edi ini.

 

Di bilangan Jawa Barat, tepatnya Purwakarta, nila dijual mencapai lebih dari 30an ribu rupiah per kg nya. “Ikan-ikan yang dipanen dijual dengan harga Rp 28 ribu/kg untuk nila hitam, sedangkan harga jual nila merah Rp 31 ribu/kg nya,” terang Prima Eka Putra, pembudidaya di daerah Cikadu, Purwakarta ini. 


 

Persebaran Nila di Konsumen

Pemasaran nila yang selalu menembus angka di atas Rp 20 ribuan ini, pembudidaya kemudian membuka ke TROBOS Aqua tipikal cara penjualan ataupun gaya pemasaran ke konsumen. Di area Pare, Ahmad menjual ikannya ke pasar yang lebih potensial, yaitu ke arah Madiun. 

 

Tidak melulu berkonsep jualan segar, Ahmad juga memasarkan nila dalam bentuk frozen yang tentu saja, harganya jauh lebih tinggi. Ia sebutkan ke TROBOS Aqua, untuk ikan segar pembudidaya seperti dirinya dengan lazim menjual ke pengepul yang kemudian membawa ikan dagangan ke pasar. 

 

Kerjasama penjualan dan pemasaran dengan pengepul ia lakukan dengan cara pengepul mengambil sendiri ke lokasi pembudidaya. Dan biasanya, imbuh Ahmad, sudah ada kesepakatan antara pengepul dan pembudidaya yang dibuat sebelum proses penjualan dilakukan. 

 

“Bentuk kesepakatannya, sesuai masing-masing pembudidaya dan pengepul. Yang pasti pemasarannya mesti sehat dan sama-sama menguntungkan. Artinya tidak memberatkan satu sama lain. Pembayarannya pun langsung. Misal pengepul ambil sekarang, pembayaran langsung dilakukan pengepul,” terang pembudidaya yang juga melakukan pelatihan budidaya nila di daerahnya.

 

Sedikit spesifik, dalam menjual ikannya, Ahmad yang masih menyasar pasar domestik ini memberi gambaran syarat nila yang diinginkan pengepul. “Permintaan pasar domestik pastinya dari segi ukuran sama rata, ikan tidak cacat dan harus segar,” ujarnya.

 

Cukup berbeda, tutur Ahmad, dengan pasaran nila frozen. “Kalau rantai penjualan ikan frozen, kita jual langsung ke konsumen, dan ada juga yang melalui agen penjualan,” bebernya.

 

Pembayaran pun sedikit berbeda antara nila ke konsumen atau melalui agen. “Jika langsung ke konsumen maka pembayaran dilakukan langsung. Jika penjualan melalui agen, maka menyesuaikan dengan stok barang yang terjual atau dapat dibayar di muka. Sementara spesifikasi ikannya, kalau untuk frozen ada marinasi/berbumbu dan non marinasi, dan untuk frozen sudah tinggal goreng/siap diolah,” jelas Ahmad.

 

Di Lampung, Roni menilai, harga nila saat ini cukup stabil karena pasokan ke pasar Sumsel dan Lampung masih kurang. Meski, budidaya nila di Kabupaten Musirawas, Sumsel yang tahun lalu berkurang karena perbaikan saluran irigasi, sekarang mulai budidaya kembali. “Saat ini sebagian besar nila dari Ranau dikirim ke Muaradua, Baturaja hingga Palembang. Sementara pasar Lampung dipenuhi oleh nila dari Tanjungraja, Kabupaten Lampung Utara dan Tanggamus,” urainya. 

 

Secara umum, menurut Roni, nila sudah diterima konsumen di berbagai daerah sehingga pasarnya terus tumbuh sehingga budidaya nila berkembang di berbagai daerah. Seperti di Kecamatan Tanjungraja, Kabupaten Lampung Utara yang dulunya banyak sawah kini sudah dikonversi menjadi kolam nila. Begitu juga di Tanggamus yang awalnya banyak lele dan patin kini berkembang nila. Termasuk di Belitang, Ogan Komering Ulur Timur, nila berkembang pesat.  

 

Bahkan, sebut Roni, nila Ranau amat disenangi konsumen karena citarasanya yang gurih dan tidak berasa tanah. Dagingnya tebal, warna ikannya hitam, sehingga masyarakat Sumsel dan Lampung amat menyukainya. Karena sejak nenek moyangnya orang Lampung dan Sumsel menyukai ikan nila yang berwana hitam. “Nah, tantangannya, ketika pasokan nilai ke pasar berlebih seperti tahun-tahun sebelumnya tentu harga stagnan atau kalau tidak turun,” tukas Roni.

 

Menyesuaikan tantangan ini, Roni menyebut, solusi yang sudah ia dan pembudidaya lain lakukan. “Solusinya adalah memproduksi nila fillet (daging tanpa tulang) yang pernah kami coba, namun harganya tidak masuk. Biaya transportasi ke Jawa terlalu tinggi sehingga margin yang diterima pembudidaya tipis,” beber Roni. 

 

Mengusung diversifikasi produk nila selain segar, seperti fillet, urai Roni, tidak ada salahnya. “Menurut saya dua-duanya baik. Bagi yang punya modal dan menguasai akses pasar silakan melakukan pengolahan ikannya dan memasarkannya.  Bagi yang mau fokus saja membesarkan ikan dan menjual ikan hidup silakan. Semakin banyak alternatif dan peluang semakin baik sehingga pembudidaya banyak pilihan,” ungkapnya. 

 

Di samping itu, tambah Roni, ia dan rekan pembudidaya lain sudah mencoba untuk memotong mata rantai tata niaga ikan yang terlalu panjang. Yaitu, dengan mengirim langsung nila ke Bandarlampung dan Muaradua. 

 

“Saya menampung ikan dari KJA keluarga dan kawan-kawan lainnya. Dan itu bisa dilakukan sehingga margin yang diterima pembudidaya bisa lebih tinggi. Termasuk dengan memproduksi ikan nila beku dan dipasarkan langsung ke toko-toko frozen. Tetapi cara itu tidak bisa dilakukan semua pembdidaya. Yang paling tepat tentu adanya Unit Pengolahan Ikan (UPI) di tempat kami, sehingga pembudidaya ada alternatif untuk menjual produksinya,” paparnya..  

 

Maka dari itu, sebut Roni, ia dan rekan-rekan pembudidaya  menghimbau kepada pemerintah untuk membangun Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Danau Ranau. “Jika sudah ada UPI maka yang dikirim ke Jawa hanya dagingnya saja sehingga biaya transportasinya bisa lebih murah dan pembudidaya mendapat margin yang lebih besar. Saya melihat UPI adalah solusi yang tepat untuk mengatasi fluktuasi harga jual nila. Bahkan jika sudah ada UPI kami bisa pasar ikan dalam bentuk beku (frozen)  yang sebelumnya sudah pernah kami rintis tetapi terkendala izin.  

 

Timbul pertanyaan, bagaimana mau dibangun UPI sementara produksi belum mencukupi? “Saya dan kawan menjamin jika ada UPI maka kami tinggal meningkatkan kepadatan tebar yang saat ini masih rendah. Lalu, jika harganya masuk maka pasti kami tambah KJA. Kan beda jika membangun kolam tanah dengan KJA. Jika membangun kolam tanah harus beli lahan atau sewa. Di danau cukup beli jaring dan bambu lalu dirangkai dengan KJA yang sudah ada,” usul Roni.

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 140/ 15 Januari - 14 Februari 2024

 

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain