Halaman Baru Udang Indonesia 2024

Halaman Baru Udang Indonesia 2024

Foto: By Dias


Menghadapi tantangan sama seperti beberapa tahun belakangan, lantas apa yang dilakukan pelaku usaha perudangan dalam lembaran baru 2024 ini?

 

Menyambut peralihan masa pemerintahan baru dari era sebelumnya, menarik disimak seperti apa peralihan di dunia pertambakan udang Indonesia, khususnya vannamei. Tidak masuk ranah politik, melainkan pengembangan di ranah inovasi dan teknologi sistem budidaya. Karena, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa inovasi dan teknologi perudangan nasional terus berkendara dan rodanya bergerak secara dinamis.

 

Dinamika dunia budidaya serta pengembangan yang menyertai, tentunya dalam menjawab berbagai tantangan atau kendala di budidaya udang. “Tujuan dari pengembangan itu bervariasi. Salah satunya, tentu karena masih ditemukan kendala di dalam budidaya. Dalam kata lain, budidaya belum bisa 100% berhasil atau sesuai yang diharapkan,” jelas Steven Kurniadi, Manajer Budidaya di Tambak Kabupaten Buleleng, Bali Utara-Bali dan Situbondo-Jawa Timur (Jatim).

 

Dengan adanya kendala di lapangan, sambung Steven-sapaan akrabnya, maka para petambak dibuat untuk semakin menajamkan kreativitas. “Biasanya pelaku akuakultur akan mencoba mengadopsi secercah dari kiri dan secercah dari kanan, kemudian diadopsi di sistem tambak mereka masing-masing,” ucapnya.

 

Adopsi Berupa Kreativitas 

Seperti apa adopsi yang berkembang saat ini diutarakan Steven. Hingga awal 2024 ini, pengembangan atau inovasi nya, menurut Steven, secara umum masih berlandaskan sistem yang sudah ada. Yakni, terdiri dari sistem tradisional, tradisional plus, semi intensif, intensif, hingga supra intensif. 

 

Perbedaannya, sambung Steven, lebih terletak pada padat penebaran dan teknologi yang digunakan. Di sistem tradisional, padat tebar udang berkisar di 50 ekor per meter persegi (m2). Umumnya di sistem ini tidak menggunakan pompa air dan kincir sebagai penyuplai oksigen.

 

Lalu semi intensif, lanjut Steven, sistem ini biasanya sudah menggunakan permesinan seperti kincir dan pompa air. Sehingga untuk mengisi air tambak, di sistem ini tidak lagi mengandalkan pasang surut air laut. Range kepadatannya berkisar di 75-90 ekor per m2

 

Di tingkat yang lebih tinggi, kata Steven pada Tim TROBOS Aqua, ada sistem intensif dengan kepadatan di 100-140 ekor per m2. Di sistem ini dapat dipastikan menggunakan pompa, kincir aerator bahkan mungkin juga ada tambahan aerator lainnya seperti fine bubble dan sejenisnya.

 

“Kemudian, supra intensif yang kepadatannya mencapai 200 ekor per m2. Sistem ini tingkat modernitas teknologinya di atas semua sistem yang sudah disampaikan tadi,” ucapnya sembari mewanti-wanti mengenai kemungkinan terdapat perbedaan pendapat mengenai ketentuan batasan-batasan padat tebar dengan petambak atau pihak lainnya.

 

Menyambung ranah kreativitas di lapangan, khususnya dalam menyerap informasi baru untuk dikembangkan sebagai inovasi, diamini Ade Rahma, Teknisi Tambak di Belinyu-Bangka Belitung. Menurutnya, sebagai teknisi, penting sekali untuk berpikir terbuka, terlebih dengan informasi-informasi baru. Namun tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan antara tambahan kebutuhan serta hasil yang diperoleh.

 

Perempuan yang akrab disapa Ade ini menggambarkan contoh di lapangan bagaimana celah-celah teknis menerapkan update atau informasi baru di tambak. Di beberapa lokasi ia temukan bahwa hampir semua petambak mengetahui sistem budidaya terbagi menjadi beberapa bagian.

 

“Umumnya, di lapangan itu sistem budidaya tambak terbagi sesuai padat tebar dan pengelolaan tambahan yang diterapkan. Selain itu, juga ada beberapa sistem baru yaitu RAS (Recirculating Aquaculture System) dan juga bioflok untuk daerah yang sulit memperoleh air atau untuk menambahkan porsi pakan alami di tambak,” terang Ade. 

 

Bahkan, sambung Ade, ada juga sistem tebar bertingkat. Yaitu menambahkan fase nursery (pendederan atau petokolan/penokolan), sebelum akhirnya udang ditebar pada wadah yang lebih besar dengan ukuran udang yang juga lebih besar.

 

Nursery Terus Digalakkan di Tradisional

Menyambung nursery, Supito, Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara-Jawa Tengah menggambarkan lebih banyak. Dimana, saat ini pemerintah pun menggalakkan inovasi berupa modifikasi tambak tradisional menjadi tradisional plus dengan fase nursery menjadi andalannya.

 

“Nah, sebelum menjelaskan mengenai fase nursery, saya lengkapi dulu info yang belum ada yah. Yakni belum ada yang menyampaikan perbedaan tradisional dan tradisional plus,” sambar Supito. 

 

Secara ringkas, jelas Supito, budidaya tradisional plus itu, ada plusnya jika dibandingkan tradisional konvensional. Di sistem tradisional saja, budidaya bergantung dengan kondisi alam. Di tradisional plus pun bergantung kondisi alam, namun plusnya sudah menggunakan mekanisasi yang sesuai. Seperti, sudah menggunakan pakan tambahan.

 

“Dari sini mari balik lagi fase nursery,” ajak Supito. Udang yang melewati fase nursery lebih dulu, jelasnya, disebut tokolan. Tokolan memiliki panjang kurang lebih 1,5 cm. atau bila dilihat dari PL, maka tokolan itu dari PL 25-30. Dimana bentuknya bentuk dan ukurannya sudah kuat untuk di tambak tradisional.

 

Selain di di tambak tradisional, tokolan kerap kali juga digunakan di sistem tradisional plus di daerah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya. Sebut Supito, budidaya udang dengan benur berukuran lebih besar alias tokolan memiliki banyak keuntungan. Pertama, dari segi waktu pemeliharaan berlangsung lebih cepat atau lebih pendek.

 

Mengapa mengejar waktu pemeliharaan lebih singkat? Setidaknya Supito memberi tiga alasan.

Ajak Supito, pahami dulu bahwa tambak yang terisi dan terendam air dalam kurun waktu yang cukup lama akan menghasilkan kualitas dasar tambak menurun. Kualitas itu bisa dikembalikan lagi menjadi optimal dengan cara pengeringan tambak. Tujuannya, untuk mempercepat oksidasi tanah dan penguraian bahan organik. 

 

Berdasarkan filosofi itu, kata Supito, maka disarankan tambak tersebut digunakan dalam waktu sesingkat mungkin untuk mencapai udang ukuran pasar. “Biasanya dari benur ditebar hingga panen membutuhkan waktu 3-4 bulan. Dengan petokolan, budidaya cukup 2-2,5 bulan saja. Di sisi lain, kita ingin tambak tradisional juga bisa maju dengan teknik ini. Sehingga kita pun mendorong tambak tradisional untuk menggunakan benur big size ini,” beber Supito.

 

Kelebihan yang kedua, yakni dari aspek bisnis harga udang pun lebih ‘ok’. “Mari saya analogikan. Harga benur di Kalimantan sekitar Rp 30 per ekor. Anggap saja kita membutuhkan 40 ribu ekor. Jika SR (Survival Rate) hanya di 10% berarti secara perhitungan harga benih per ekornya mencapai Rp 400. Namun apabila yang ditebar tokolan dengan harga Rp 150 per ekor dan SR 50%, maka harga benih sebenarnya hanya Rp 300 per ekor,” jelas Supito dari sambungan telepon pada tim TROBOS Aqua sore itu.

 

Ketiga, sebelum ditebar di tambak, benur dipelihara lebih dulu selama 1-2 minggu di wadah yang terkontrol hingga mencapai ukuran tokolan. Disini akan lebih mudah melakukan risk management.

 

“Benur yang diperjualbelikan rata-rata memiliki hasil laboratorium yang bagus alias negatif patogen. Sayangnya, proses distribusi yang lama akan menyebabkan banyak kemungkinan buruk terjadi. Seperti kita saja, setelah melalui perjalanan panjang, udang juga merasakan tubuhnya lelah, lemas, dan sebagainya,” tutur Supito lebih dalam terkait penokolan.

 

Begitu masuk lokasi penokolan, lanjutnya, udang akan diamati setiap hari. Biasanya benur jelek akan mati di hari ke 2-3 setelah penebaran. Kalau matinya cukup banyak dan ketahuan, benur bisa ke hatchery

 

 

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 141/ 15 Februari - 14 Maret 2024

Selengkapnya Baca di Majalah TROBOS Aqua edisi 140/ 15 Januari - 14 Februari 2024

 
Aqua Update + Inti Akua + Cetak Update +

Artikel Lain